Gabus Pucung dan Sejarah yang Melatarbelakanginya
![]() |
Gabus Pucung |
Gurihnya Gabus Pucung
Masyarakat Betawi ternyata memiliki sejumlah penganan yang memiliki sejarah dan pengaruh dari masyarakat lain yang melatarbelakanginya. Setelah menghadirkan Nasi Ulam dan Bir Pletok yang dipengaruhi oleh budaya masyarakat lainnya yakni Melayu dan Belanda, kali ini penulis menghadirkan Gabus Pucung sebagai salah satu penganan/makanan yang memiliki kisah sejarahnya sendiri.
Gabus
Pucung adalah salah satu makanan khas Betawi yang terbuat dari ikan
dengan sajian kuah kental layaknya kuah rawon di Jawa Timur yang rasanya 'rame': asin, gurih dan pedas.
Gurihnya
kuah Gabus Pucung disebabkan oleh bahan-bahan seperti kemiri yang
diulek yang kemudian dicampur dengan bawang merah, bawang putih, jahe
dan kunyit lalu ditambahkan daun salam, daun bawang yang dipotong
kecil-kecil, serai, dan cabai hijau. Sedangkan Kuah Gabus Pucung yang
berwarna hitam berasal dari pucung.
Gabus
Pucung sangat nikmat disantap bersama nasi putih hangat dimana ada
sensasi tersendiri seiring rasa pedas dan rasa gabus yang memiliki
daging tebal.
Ternyata
Gabus Pucung memiliki sejarahnya sendiri yang disebabkan oleh
ketidakmampuan masyarakat Betawi di zaman 'old', tepatnya lagi-lagi di
masa imperialisme Belanda, untuk mengkonsumsi ikan mas, mujair atau
bandeng yang saat itu termasuk makanan mahal dan menjadi santapan orang-orang gedongan.
Untuk
mengganti ikan-ikan tersebut, maka masyarakat Betawi saat itu memilih
ikan gabus yang mudah didapat karena berkembang biak secara liar untuk
dijadikan menu masakan.
Kini Gabus Pucung sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari salah satu tradisi masyarakat Betawi yang disebut nyorong yang berarti memberikan.
Nyorong dalam pemahaman lebih luas bisa berarti mengantarkan makanan oleh anak kepada orang tua atau oleh menantu kepada mertua yang biasa dilakukan saat menjelang bulan puasa atau hari lebaran sebagai pengikat tali silaturahmi dalam masyarakat Betawi.
Nyorong dalam pemahaman lebih luas bisa berarti mengantarkan makanan oleh anak kepada orang tua atau oleh menantu kepada mertua yang biasa dilakukan saat menjelang bulan puasa atau hari lebaran sebagai pengikat tali silaturahmi dalam masyarakat Betawi.
image: KabarKuliner
Sumber: Saliha
Comments
Posting Komentar